(Karikatur Jokowi di koran Philippina)
Sekian waktu lalu tuh, saya dikirimi meme yang menggambarkan aksi Jokowi berpedang lengkap dengan tameng, maju mengancam naga. Kata yang ngirim, itu sebuah karikatur dari media Philippina untuk mengolok Presiden Philippina karena tak berani melakukan aksi serupa. Si Naga dalam gambar didefinisi sebagai Negara China.
Pangkal pengiriman meme itu ke saya adalah tulisan status soal aksi Jokowi ke Natuna. Waktu itu, saya bilang, kurang lebih: untuk kasus pencurian ikan, mbok ya jangan presiden yang pasang taring. Apalagi dengan simbolik dari atas perangkat angkatan perang. Cukup level kementerian sahaja, dengan perangkat sipil, yang nampar aksi curi curi ikan itu.
Manuver Jokowi di Natuna itu ibarat "buka harga" ke China. Dan itulah yang memang diharap pihak China. China bilang "Ente jual, Ane beli".
China BUTUH, sangat butuh, alasan untuk dijadikan pijakan bagi "further military engage" (keterlibatan militer) di kawasan Laut China Selatan (LCS). Dengan Negara mana saja. Dengan Amerika Serikat sekalipun. Ingat, dalam konfrontasi Korea di awal dekade 50-an lalu, China berhasil "memulangkan" militer AS. Negara Pemenang Perang Dunia II yang baru aja 5 tahun berlalu, ketika itu. Negara, yang ironisnya, adalah pembebas China dari pendudukan Jepang, sekali lagi: 5 tahun sebelumnya.
Dalam konteks kemelut Laut China Selatan, China BUTUH "gara-gara" militer dari Negara lain. You name it, then China will be happy to engage with, secara militer(!). Sekarang ini, boleh dikata, apa saja perangkat yang dibuat Amerika, dapat dibuat oleh China. Kecuali, perangkat demokrasi. Jadi, China punya apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan kemauannya, yaitu: POWER. Kekuatan. Yang kurang adalah: "gara gara" dari Negara lain.
Nah. Kemarin (12/7/2016), Mahkamah Internasional Arbitrase PBB di Den Haag, Negeri Belanda, telah menjatuhkan keputusan atas gugatan Philippina terhadap klaim kuasa China atas Laut China Selatan. Hal mana didefinisikan China melalui apa yang disebut "Nine-Dash-Line", sembilan garis imajiner yang memagari LCS yang membuat kawasan laut kaya sumber daya alam itu menjadi "halaman belakangnya daratan China". Modal China hanyalah menggaris di atas peta, lalu mengeluarkan klaim bahwa kawasan dalam 9 garis itu adalah miliknya(!). Dan, sebagian garis itu memotong (pula) kawasan laut di lepas pantai Kepulauan Natuna, kawasan mana dalam kesepakatan internasional adalah zona ekonomi eksklusif punya Indonesia!
Apa tanggapan China atas keputusan Mahkamah? China bilang "Nehi!" (eh, ini bahasa India, ya? kebanyakan nonton Uttaran kali ye). China, bahkan Taiwan (yang membangkang dari China), secara ringan mengatakan: "Tidak akan mengakui dan mematuhi keputusan Mahkamah". Harap dicatat: China punya power yang cukup untuk mengeksekusi pernyataannnya itu.
Duarrr....!!! Langkah Presiden Indonesia, ehhhh, ralat... langkah Presiden Philippina untuk tidak "over acting" ternyata TEPAT. Dengan sebelumnya tidak bikin "gara gara" dengan atribut militer, Philippina secara internasional "unggul" terhadap China. Apabila pasca keputusan Mahkamah, baik nelayan (sipil), Penjaga Pantai (China Coast Guard, sipil) maupun Tentara PLA (People Liberation Army, TNI-nya China) melakukan hal yang tidak menyenangkan di kawasan yang telah diadili, maka dunia internasional secara hukum wajib berdiri membela Philippina.
Bagaimana dengan Indonesia? Jokowi telah "buka harga". Dan dunia internasional tahu itu. Dan China mau itu. Dan waktu "engage" bisa kapan saja. Bukannya saya menganjurkan kita untuk takut, tetapi saya mau ingatkan: KEBERANIAN ITU BUTUH RASIO. Butuh mikir sebelumnya. Jangan ra mikir.
Eh, mengenai karikatur Jokowi berpedang, bertameng, maju ke arah Naga itu saya yakin, pembuatnya tahu bahwa Naga punya alat serang "jarak jauh", yang bisa mematikan penyerangnya sebelum pedang si penyerang menjangkau leher Naga. Naga punya "sembur api".
#JanganTensi
(by Canny Watae)
0 Response to "Beda Kecerdasan Presiden Philippina dan Jokowi Dalam "MELAWAN NAGA" di NATUNA"
Posting Komentar