[Dibalik Kudeta] Bagaimana Sebuah iPhone Mengalahkan Tank-Tank di Turki


How an iPhone defeated the tanks in Turkey

Oleh David Hearst
(Pemimpin Redaksi Middle East Eye)

Untuk melaksanakan sebuah kudeta, para perwira senior tentara Turki dari unit-unit komando, Angkatan Darat, 1st dan 4th Army (pengelompokan/pembagian komando daerah militer di Turki), dan Angkatan Udara melakukan usaha ekstrim untuk merebut kekuasaan.

Mereka menguasai dua Bandara dan menutup yang ketiga. Mereka mencoba untuk memisahkan sisi Eropa Istanbul dari sisi Asia-nya. Mereka mengebom parlemen di Ankara sembilan kali. Ada sebuah kontak senjata diluar markas Badan Intelijen Turki (MIT). Mereka mengerahkan tank, helikopter bersenjata dan jet-jet F-16.

Untuk mengalahkan kudeta ini, sang presiden Turki menggunakan iPhone-nya. Masjid-masjid menggunakan loudspeaker mereka, menyiarkan panggilan shalat sebelum subuh. Para pemimpin poltik dari segala latar belakang, beberapa merupakan lawan sang Presiden, secara jelas menyerukan kudeta tersebut untuk dipatahkan. Para polisi menahan para tentara.

Orang-orang tak bersenjata mengambil kembali CNN Turk dan berbagai jembatan di Bosporus, berani menghadapi tembakan senjata api demi mengambil kembali demokrasi demi Negara mereka.

Ini jelas-jelas sebuah kudeta militer. Akan tetapi kedutaan AS di Ankara dalam pesan daruratnya kepada para Warga Negara AS menyebutnya sebuah “pemberontakan/kebangkitan (uprising)”.

Geopolitical Futures mengeluarkan sebuah analisa yang menyebut kudeta ini berhasil. BBC Arabic, Sky News Arabic, El Arabiya TV, editor diplomatic ITN, jaringan berita AS semuanya menurunkan komentar yang menyebut Erdogan telah habis, atau telah kabur ke Jerman.

The Guardian menurunkan sebuah artikel yang headline/judul berita pertamanya (kemudian diubah) mengungkapkan semuanya yang tak mampu menahan kegembiraannya atas kepergian seorang pria (erdogan -ed) yang ia anggap sebagai seorang islamis otoriter: “Bagaimana Recep Tayyip Erdogan membakar ketegangan di Turki”.

Saat rakyat Turki berperang demi masa depan mereka (turun ke jalan menentang kude -ed), ada keheningan yang mengejutkan dari para pemimpin barat yang brand image-nya adalah demokrasi. Konsulat Perancis telah tutup dua hari sebelumnya. Apakah mereka mengetahui sesuatu (kudeta) yang tidak diketahui Turki?

Dalam pernyataan awalnya, Menteri Luar Negeri AS John Kerry menggunakan setiap kata kecuali kata “d” (democracy) yang penting. Ia berharap adanya “stabilitas dan kedamaian dan keberlanjutan” didalam Turki.

Tidak ada apapun mengenai dukungan pada seorang presiden yang terpilih secara sah dan parlemen yang terpilih secara sah. Hanya disaat sudah jelas bahwa kudeta ini gagal baru presiden Barack Obama dan (Menlu) Kerry mengeluarkan sebuah penryataan yang secara jelas mendukung Erdogan.

Jika anda ingin tahu mengapa Eropa dan AS merupakan busted flush (entitas menjanjikan yang dikemudian hari gagal), mengapa mereka telah kehilangan semua otoritas moral, bahkan semua otoritas, dan mengapa mereka tak lagi pembawa lilin perubahan demokrasi, tak perlu lihat jauh-jauh dari tiga jam penuh keheningan saat mereka menunggu (hasil kudeta) untuk melihat kearah mana angin bertiup di Istanbul dan Ankara.

Saudi menunggu 15 jam sebelum mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendukung Erdogan. Emiratis (Uni Emirat Arab) dan media yang mereka kendalikan menyebarkan berita bahwa Erdogan telah kabur dari Turki.

Hal sebaliknya yang terbukti benar. Erdogan menunjukkan keberanian dengan menaiki sebuah pesawat dan mengarah menuju Istanbul, (padahal) mengetahui bahwa F16 (yang dikuasai tentara kudeta) ada di udara dan bahwa landasan di Bandara Ataturk bisa saja telah ditutup.

Hanya tiga Negara di dunia yang dengan jelas mendukung Erdogan sejak awal – Maroko, Qatar, dan Sudan.

Yang secara khusus mengesankan adalah pernyataan (sikap) dari para politisi Turki (oposisi) yang memiliki banyak alasan untuk menginginkan Erdogan pergi, dan dimana mereka sendiri telah dikesampingkan olehnya. Pemimpin partai (oposisi) terbesar di Turki, Kemal Kilicdaroglu dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang berhaluan kiri-tengah, segera menentang kudeta tersebut dalam sejumlah tweet, menyebut bahwa Turki telah “banyak menderita” dalam berbagai kudeta yang terjadi di masa lalu.

Dua pemimpin AKP dari sayap liberal, yang telah dikesampingkan atau baru-baru ini dipecat oleh Erdogan mendukungnya. Mantan presiden Abdullah Gul memberitahu CNN Turk bahwa “Turki bukanlah sebuah Negara Amerika Latin.. saya menyerukan pada mereka yang mencoba menggulingkan pemerintahan untuk segera kembali ke barak mereka.”

Mantan perdana menteri Turki Ahmet Davutoglu memberitahu Al Jazeera: “Turki adalah sebuah demokrasi… saya tak berpikir usaha ini akan berhasil. Tak boleh ada usaha apapun untuk mengacaukan Turki. Kita menghadapi banyak krisis di Suriah dan kawasan lainnya, ini waktunya untuk memiliki solidaritas dengan rakyat Turki… di saat ini rakyat dari berbagai kota ada di jalanan, di alun-alun (untuk memprotes) upaya kudeta ini.”

Semua orang ini bisa melihat apa yang tak dapat dilihat konsensus Barat mengenai Erdogan. Bahwa prosesnya (jalan demokrasi) lebih penting dari sang pria (presiden). Bangsa Turki, percaya atau tidak, akan berjuang dan mati demi hak mereka untuk memilih presiden mereka, meskipun mayoritas dengan jelas tidak menginginkan beliau memiliki kekuasaan kepresidenan yang berlebihan.

Reaksi bangsa Turki tadi malam adalah sebuah kedewasaan demokrasi. Reaksi barat adalah korupsi demokrasi, secara sementara ternodai oleh dukungan politik dan militernya terhadap autokrasi (kudeta).

Titik balik pada drama moralitas tadi malam terjadi saat rekaman Erdogan yang berbicara melalui iPhone-nya disiarkan dan disebarkan secara cepat lewat media sosial.

Sampai saat itu (sebelum Erdogan bicara via iPhone), terlihat bahwa kudeta ini akan berhasil. Beliau menyerukan pada rakyat untuk keluar menuju jalanan dan tetap dijalanan tersebut. Dan mereka mematuhi seruan tersebut terkadang dengan harga nyawa mereka sendiri. Sebuah iPhone mengalahkan banyak tank.

Turki membuktikan bahwa mereka bukanlah Mesir. Jika ada pelajaran pada hari-hari gelap bagi demokrasi di Timur Tengah, itu (akan tertuju) kepada rakyat yang hidup di sisi lain laut Mediterrania dan yang negaranya mengalami pendarahan sebagai hasil autokrasi militer (kudeta Mursi) yang pernah mereka rayakan sebagai sebuah revolusi kedua (revolusi pertama penggulingan Hosni Mubarak -ed).

Bukan untuk pertama kalinya sejak 2011 (Arab Spring), para diktator diseluruh kawasan pasti bergidik hari ini. Kekuatan demokratis yang mampu melucuti tentara, juga mampu melucuti mereka. [portalpiyungan.com]

*Sumber: http://ift.tt/2a0VhcI




Sumber : http://ift.tt/2a9jaBO

0 Response to "[Dibalik Kudeta] Bagaimana Sebuah iPhone Mengalahkan Tank-Tank di Turki"